Kamis, Desember 15, 2011

Lanjutan Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra Indonesia II


a.       Sanusi Pane (1905-1968) bukunya yang pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul pancaran cinta (1926), kemudian disusul sajak Puspa Mega (1927) sajak-sajak dalam kumpulan ini hamper seluruhnya berbentuk sonata. Selain dari itu Sanusi Pane membuat kumpulan sajak yang berjudul Madah Kelana (1931). Dalam sajak ini ia mengubah pandangannya tentang sajak dan kepujanggaan. Hal ini dapt kita liat salah satu sajaknya yang berjudul SAJAK.
                                                   

                          Sajak

                          O, bukanlah dalam kata yang rancak
                          Kata yang pelik kebagusan sajak
                          O, pujangga, buang segala kata
                          Yang kan Cuma mempermainkan mata
                                                   
                          Seperti mentari mencintai bumi
                          Member sinar selama-lamanya
                          Tidak meminta sesuatu kembali
                          Harus cintamu senantiasa………

                         Selai dari itu Sanusi Pane pun menulis beberapa drama diantaranya:
Airlangga (1928), Eenzame  Garoedavlucht (1930) kedua naskah ini ditulis             dalam bahasa Belanda, dan Kartajaya (1932), Sandhyakala ning Majapahit (1933) ditulis dalam bahasa Indonesia.

b.      Merari Siregar mengarang buku yang berjudul Azab dan Sengsara yang merupakan kritikan langsung pada adat dan kebiasaan buruk kuno yang tidak lagi sesuai dengan zaman modern.

c.       Marah Rusli dengan bukunya yang berjudul Siti Nurbaya. Cerita ini juga merupakan kritikan terhadap berbagai keburukan kunoberkenaan dengan perkawinan. Karya Marah Rusli yang lain berjudul LaHami (1952) dan Anak dan kemanakan (1956).

d.      Abdul Muis (1886-1959), hasil goresan tangan beliau berjudul Salah Asuhan (1928). Dalam roman ini penyairnya lebih realis, yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa tapi lebih kepada pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan .ia lebih jelas menyakinkan kebaikan dan keburukan yang terdapat diantara kaum itu. Selai dari itu beliau juga menulis Pertemuan Jodoh (1933) yang merupakan roman percintaan yang bertendensi sosial. Buah tangan beliau yang lain berjudul Suropati (1950) dan Robert anak suropati (1953). Kedua roman itu merupakan roman sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda. Dan masih banyak penyair lainnya di angkatan ini.

1.      Munculnya angkatan 30-an diakibatkan adanya kekangan dari Balai Pustaka terhadap pengarang-pengarang lama yang tidak sesuainya pemikiran dan semangat para pujangga-pujangga baru pun terhadap  semangat lama. Sehingga pada tahun 1933 terbitlah angkatan yang bernama pujangga baru. Adapun beberapa pengarang angkatan ini yaitu:

a.       Sutan Takdir Alisjabana lahir pada tanggal 11 Februari 1908 di Natal (Tapanuli), Sutan Takdir Alisjahbana menulis roman yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang, Dian yang Tak Kunjung Padam(1932),Anak Perawan Di Sarang Penyamun (1932), Layar Terkembang. selai itu, kumpulan puisinya berjudul Tebaran Mega. Salah satu puisinya yang berjudul Menuju Kelaut dapat kita lihat berikut.
Menuju Ke Laut
Angkatan baru.

Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang, tiada beriak,
Diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan,
Sebab sekali kami terbangun,
Dari mimpi yang nikmat.

                      “ Ombak ria berkejar-kejaran,
                      Di gelanggang biru da tepi langit.
                      Pasir rata berulang dikecup,
                      Tebing curam ditentang diserang.
                      Dalam bergurau bersama angin,
                      Dalam berlomba bersama mega.

Sajak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa kaku,
Gunung pelindung rasa penghalang,
Berontak hati hendak bebas,
Menyerang segala apa menghadang.

Gemuruh berderau kami jatuh,
Terhempas berderai mutiara bercahaya.
Gegap gempita suara mengerang ,
Dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti,
Pekik dan tempik sahut menyahut.

                      Tetapi betapa sukanya jalan,
                      Badan terhempas, kepala tertumbuk,
                      Hati hancur, pikiran kusut,
                      Namun kembali tiadalah angin,
                      Ketenangan lama tiada diratap.

Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenag, tiada beriak,
Diteduhi gunung yang rimbun,
Dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
Dan mimpi yang ni’mat.

                                          Dari Puisi Baru
                                          Oleh, S.T.Alisjahbana.
Lanjut kehalaman berikutnya,....!

0 comments:

Posting Komentar